KULTUR SEKOLAH- Budi 11901203


 
Pengertian Kultur Sekolah
Menurut Antropologi (Koentjaraningrat, 2003: 72) kebudayaan
adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan
miliknya dengan belajar.
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh
suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku,
sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Oleh
karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh suatu generasi
kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang
didesain untuk memeperlancar proses transmisi kultural antar generasi
tersebut (Ariefa Efianingrum, 2009: 21).
Dapat disimpulkan, kebudayaan adalah sebagai keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk
memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya,
serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Suatu kebudayaan juga
merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan
sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan
pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses
belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalambentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai
karya yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota
masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya
tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya,
disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena
lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Begitu pula dengan kebudayaan atau kultur dalam sekolah. Setiap
sekolah memiliki budaya sekolah yang berbeda dan mempunyai
pengalaman yang tidak sama dalam membangun budaya sekolah.
Perbedaan pengalaman inilah yang menggambarkan adanya “keunikan”
dalam dinamika budaya sekolah. Kondisi ini adalah normal sebagaimana
dijelaskan oleh Bare (Siti Irene Astuti D, 2009 : 119-120) yang
menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik dari pendekatan
antropologi dalam memahami dalam budaya sekolah meliputi:
“a unique mixing of ethnicity, values, experience, skills, and
asporation: special rituals and ceremonies: unique history of
achievement and tradition: unique socio-economic and geographic
location”.
Budaya sekolah menyebabkan perbedaan respon sekolah terhadap
perubahan kebijakan pendidikan, dikarenakan ada perbedaan
karakteristik yang melekat pada satuan pendidikan, selain itu budaya
sekolah juga mempengaruhi kecepatan sekolah dalam merespon perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan
sekolah (Siti Irene Astuti D, 2009: 74).
Jadi dalam hal ini budaya atau kultur sekolah mempengaruhi
dalam dinamika kultur sekolah yang tetap menekankan pentingnya
kesatuan, stabilitas, dan harmoni sosial pada sekolah, dan realitas sosial.
Budaya sekolah juga memperngaruhi kecepatan sekolah dalam merespon
perubahan tergantung kemampuan sekolah dalam merancang pelayanan
sekolah.
Sekolah merupakan sistem sosial yang mempunyai organisasi yang
unik dan pola relasi sosial di antara para anggotanya yang bersifat unik
pula. Hal itu disebut kebudayaan sekolah. Namun, untuk mewujudkannya
bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Sekolah dapat
bekerjasama dengan pihak-pihak lain, seperti keluarga dan masyarakat
untuk merumuskan pola kultur sekolah yang dapat menjembatani
kepentingan transmisi nilai (Ariefa Efianingrum, 2007: 51).
Pengertian kultur sekolah beraneka ragam. Deal dan Kennedy
(Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 3)
mendefinisikan kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik
bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga
suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, sekolah dapat
saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan sejumlah
kultur lainnya sebagai subordinasi.
 
2. Karakteristik Kultur Sekolah
Kultur sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja di
sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat,
dinamis atau aktif, positif, dan profesional. Sekolah perlu memperkecil
ciri tanpa kultur anarkhis, negatif, beracun, bias dan dominatif. Kultur
sekolah sehat memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi
secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki
semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang.
Sifat dinamika kultur sekolah tidak hanya diakibatkan oleh
dampak keterkaitan kultur sekolah dengan kultur sekitarnya, melainkan
juga antar lapisan-lapisan kultur tersebut. Perubahan-perubahan pola
perilaku dapat secara proses mengubah sistem nilai dan keyakinan pelakudan bahkan mengubah sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat
sukar. Dinamika kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika
ini ditangani dengan bijak dan sehat dapat membawa perubahan yang
positif (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 6-7).
Kultur-kultur yang direkomendasikan Depdiknas untuk
dikembangkan antara lain :
1. Kultur yang terkait prestasi/kualitas : (a) semangat membaca
dan mencari referensi; (b) keterampilan siswa mengkritisi data
dan memecahkan masalah hidup; (c) kecerdasan emosional
siswa; (d) keterampilan komunikasi siswa, baik itu secara lisan
maupun tertulis; (e) kemampuan siswa untuk berpikir obyektif
dan sistematis.
2. Kultur yang terkait dengan kehidupan sosial : (a) nilai-nilai
keimanan dan ketaqwaan; (b) nilai-nilai keterbukaan; (c) nilai-
nilai kejujuran; (d) nilai-nilai semangat hidup; (e) nilai-nilai
semangat belajar; (f) nilai-nilai menyadari diri sendiri dan
keberadaan orang lain; (g) nilai-nilai untuk menghargai orang
lain; (h) nilai-nilai persatuan dan kesatuan; (i) nilai-nilai untuk
selalu bersikap dan berprasangka positif; (j) nilai-nilai disiplin
diri; (k) nilai-nilai tanggung jawab; (l) nilai-nilai kebersamaan;
(m) nilai-nilai saling percaya; (n) dan nilai-nilai yang lain
sesuai kondisi sekolah ( Depdiknas Direktorat Pendidikan
Menengah Umum, 2003: 25-26).
Sedangkan menurut Jumadi (2006: 6) Keberhasilan pengembangan
kultur sekolah dapat dilihat dari tanda-tanda atau indikator sesuai fokus
yang dikembangkan. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain :
adanya rasa kebersamaan dan hubungan yang sinergis diantara warga
sekolah, berkurangnya pelanggaran disiplin, adanya motivasi untuk
berprestasi, adanya semangat dan kegairahan dalam menjalankan tugas,
dan sebagainya.
Kultur sekolah bersifat dinamis. Perubahan pola perilaku dapat
mengubah sistem nilai dan keyakinan pelaku dan bahkan mengubah
sistem asumsi yang ada, walaupun ini sangat sulit. Namun yang jelas
dinamika kultur sekolah dapat saja menghadirkan konflik dan jika ini
ditangani dengan bijak dan sehat dapat membawa perubahan positif.
Kultur sekolah itu milik kolektif dan merupakan perjalanan sejarah
sekolah, produk dari berbagai kekuatan yang masuk ke sekolah. Sekolah
perlu menyadari secara serius mengenai keberadaan aneka kultur
subordinasi yang ada seperti kultur sehat dan tidak sehat, kultur kuat dan
lemah, kultur positif dan negatif, kultur kacau dan stabil dan
konsekuensinya terhadap perbaikan sekolah. Mengingat pentingnya
sistem nilai yang diinginkan untuk perbaikan sekolah, maka langkah-
langkah kegiatan yang jelas perlu disusun untuk membentuk kultur
sekolah (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2003: 7).
Jadi dalam hal ini dinamika kultur sekolah adalah budaya dalam
kehidupan sekolah yang berjalan secara terus menerus yang dapatmerubah pola perilaku. Dinamika kultur juga dapat menhadirkan konflik,
namun dalam hal ini jika sekolah dapat menangani secara bijak konflik
tersebut dapat menajadi perubahan yang positif.
3. Identifikasi Kultur Sekolah
Kotter dalam (Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum,
2003: 7-8) memberikan gambaran tentang budaya dengan melihat dua
lapisan. Lapisan pertama sebagian dapat diamati dan sebagian tidak
teramati seperti: arsitektur, tata ruang, eksterior dan interior, kebiasaan dan
rutinitas, peraturan-peraturan, cerita-cerita, upacara-upacara, ritus-ritus,
simbol, logo, slogan, bendera, gambar-gambar, tanda-tanda, sopan santun,
cara berpakaian, dan yang serupa dapat diamati langsung, dan hal-hal yang
berada di balik yang tampak itu tidak kelihatan, tidak dapat dimaknai
dengan segera. Lapisan pertama budaya berupa norma-norma kelompok
atau cara-cara tradisional berperilaku yang telah lama dimiliki kelompok,
umumnya sukar diubah dan biasa disebut artifak.
Lapisan kedua berupa nilai-nilai bersama yang dianut kelompok
berhubungan dengan apa yang penting, baik, dan benar. Lapisan ini tidak
dapat diamati karena terletak di dalam kehidupan bersama. Lapisan
pertama yang berintikan norma-norma perilaku sukar diubah, maka
lapisan kedua yang berintikan nilai-nilai dan keyakinan sangat sukar
diubah dan memerlukan waktu untuk mengubah.
Stolp dan Smith dalam (Depdiknas Direktorat Pendidikan
Menengah Umum, 2003 : 8-10) membagi tiga lapisan kultur yaitu artifak
di permukaan, nilai-nilai keyakinan di tengah, dan asumsi di dasar. Artifak
adalah lapisan kultur sekolah yang berupaArtifak, Nilai, Keyakinan, dan Asumsi egera dan paling mudah diamati
seperti aneka hal ritual sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-
benda simbolik di sekolah, dan aneka ragam kebiasaan yang berlangsung
di sekolah. Keberadaan kultur ini dengan cepat dapat dirasakan ketika
orang mengadakan kontak dengan suatu sekolah.
Lapisan kultur sekolah yang lebih dalam berupa nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan yang ada di sekolah. Hal ini menjadi ciri utama
suatu sekolah. Sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan
sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam,
dan berbagai penggambaran nilai dan keyakinan lainnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perangkat Pembelajaran

Strategi Pembelajaran